kindness.

Ingin mencoba menulis, setelah lama tidak.

Sepertinya sudah lama sekali tidak merasakan menjadi seseorang yang bertanggung jawab atas nilai-nilai hasil studinya. Rasanya waktu berjalan dengan cepat. Hidup terkadang lucu, namun kalau tertawa terlalu banyak tidak baik; akan menangis, katanya.

Sudah dua tahun saat terakhir kali kehilangan seseorang yang benar-benar kau cintai, masih sangat menyakitkan, terkadang. Saat merasa percaya diri bahwa dia adalah satu-satunya, namun sayang sekali ketika kau bukanlah salah satunya.

Katanya, setiap perpisahan harus ada pelajaran yang diambil. Namun kurasa dari hubungan yang kemarin kandas, 'pelajaran-pelajaran' itu seperti menampar keras aku. Padahal, apa yang salah dari mencintaibahkan jika seseorang itu tidak mencintaimu?

Orang bilang, pola pikirku salah. Mereka bilang, sudah seharusnya aku bebenah diri dan lebih memikirkan masa depan dibanding perasaan. Baiklah kalau begitu. Tapi bagaimana jika aku masih melihat dia dalam pandangan masa depanku?

Hidup 22 tahun sebagai manusia, rasanya fase ini sangat menyakitkan. Apalagi ketika ingat kata-katanya yang menyatakan bahwa aku terlalu baik untuknya. Padahal setelah aku menyerah, dia adalah satu-satunya yang bersorak paling kencang diantara rombongan manusia lain. Dia bilang, dia sedih. Namun sangat terburu-buru ingin mematikan telepon, di saat aku memohon padanya untuk mengangkat telepon. Aku tertawa saat itu, namun dia bilang tidak sepantasnya aku tertawa di kala perpisahan. Sedikit yang dia tahu, mungkin tak pernah terbayangkan olehnya, warasku sudah diambang hilang. Aku hampir gila, kala dia bersenang hati mengabari kisahnya yang sudah usai kepada wanita barunya.

Apakah semua manusia harus menjadi munafiktermasuk seseorang yang kucintai?

Terkadang, untuk menyudahi sesuatu, diperlukan pengkhianatan. 

Mungkin benar apa yang dia katakan; tidak sepantasnya aku menjadi terang untuk seseorang yang lama hidup dalam gelap. Seharusnya tidak perlu bersusah payah mengenalkan 'cinta' seolah akulah pahlawannya. Karena sesungguhnya, dia sudah tahu bagaimana rasanya dicintai. Hanya saja, bukan rasa cintaku yang dia ingin rasakan. Sejauh ini, itulah yang kumaknai sebagai "terlalu baik untukku".

Ini bukan kisah pertama pengkhianatan, perselingkuhan, kemunafikan, perpisahan menyakitkan yang pernah kualami. Tapi entah, sampai saat ini, aku masih bertanya-tanya pada Tuhan-ku, bagaimana bisa dia melakukan hal serupa seperti manusia masa laluku yang ia katakan sebagai 'bajingan'?Tuhan, bagaimana bisa dia, seseorang yang kucintai, adalah bagian dari mereka? Aku menghabiskan dua tahunku untuk memikirkan segalanya. Bagaimana bisa dia menyalahkan pola asuh keluargaku, di saat dialah satu-satunya yang bermasalah? Bagaimana bisa dia mengejekku seperti anak kecil yang tak punya kuasa atas hidupnya kepada teman baikku? Bagaimana bisa dia berlagak seperti pelindung, di kala dia adalah salah satu yang menginginkan aku gugur? Dari sekian gores yang dia beri, aku khawatir bagaimana wanita barunya akan memperlakukannya. Tidak, aku tidak khawatir bagaimana dia memperlakukan wanita barunya. Aku hanya membayangkan jika dia menjalani hukum tabur tuai seperti yang para pendeta khotbahkan. Apakah dia sanggup menahan gores yang wanita barunya berikan? 

Memang bukan urusanku; terkadang aku hanya bertanya-tanya saja. Sisanya, urusan Tuhan-ku, bukankah begitu?

Namun daripada segala hal yang kukhawatirkan, aku jadi penasaran bagaimana tanggapan wanita barunya mengenai tulisan ini. Akankah mencaci dan membuktikan bahwa dirinya lebih baik dariku? Atau justru sebaliknya, akankah dia ditenangkan dengan kata-kata 'itulah salah satu alasan mengapa aku meninggalkannya, dan lebih memilihmu'? Terdengar nyaring, seperti minuman kaleng kosong yang dilempar ke tong sampah.

Apakah lagakku sudah seperti orang tidak baik? Karena sedari tadi, aku berlagak seperti korban daripada pelaku. Jika ya, baguslahrasanya menyenangkan dibanding mendapat julukan sebagai 'si terlalu baik'.

Comments

Popular posts from this blog

Review Film Pendek yang Sedang Ramai, Tilik (2018)

Sebuah Kalbu di Antara Klise Abu

Penutup Sebuah Kisah