Sebuah Kalbu di Antara Klise Abu

Minggu dini hari menyiratkan kepergian sebuah rasa yang tidak pernah asa. 


Coba lihat dari lubang kecil di kamarmu. Berapa banyak bintang-bintang bersinar seolah tersenyum? Mereka saling berbincang,  mencari tahu cara tersopan untuk menggapai acuhmu.

Lama tak berjumpa, Sam. Ribuan lembar klise hinggap dipikiranku, karena tidak sempat kusampaikan kepadamu. Ada banyak hal terjadi setelah kau memutuskan untuk menyudahi segalanya. Tentang si pria miskin peduli, tapi sangat haus peduli. Tentang pemandangan bianglala indah, sampai akhirnya terlupakan. Entah, aku tak tahu harus mulai dari mana. Tapi yang terjadi begitulah—hancur seperti abu. Sangat halus, yang kemudian menghilang begitu saja setelah angin meniupnya.

Jika dunia menolak kebohongan, maka aku akan berkata bahwa aku tidak menyukai kisah diantara kau dan aku. Sendu, seperti melihat dunia dengan warna sephia. Rasanya tidak pantas, mendapatkan cangkir di kala kau sangat haus—cangkir kosong tanpa air di dalamnya.

Satu hal yang ingin sekali kubilang, bahwa aku hanya merindukan beberapa bagian dari kisah itu. Kau ingat saat kau mengajak si manis pergi untuk menghiburnya? Lalu, kau pikir aku cemburu. Mana mungkin? Sam ku adalah pria baik yang ingin menularkan senyum manisnya kepada orang lain. Aku tidak bisa melarangnya, atau mungkin tak berhak untuk bersikap egois seperti itu. 

Lalu, surat pengantar pada rabu sore yang mendorongku untuk menghabiskan waktu sambil menyeruput jus alpukat—yang wanginya 2 kali lebih menenangkan dari wangi hujan yang menyentuh tanah. Kau ingat hari itu? Si bapak sombong kemudian menegurku dengan tatapannya. Seolah menyuruhku berhenti untuk berpura-pura tertawa di situasi kaku. Tapi aku tak peduli, aku sangat bahagia kala itu. Tak tahu bagaimana kau memandangnya. 

Sekarang, beberapa kisahnya sudah mengurai karena rakusnya bakteri yang bertahan hidup. Sam, kalau kau melihat sisa kisah yang masih belum terurai, ya jangan kau simpan. Biarkan saja bakteri bertahan hidup. Biarkan saja juga, mungkin memang sisa-sisa tersebut punya jangka waktu hidup yang lebih lama dari kisah lainnya. Bukan berarti tidak akan hilang, hanya saja mereka hidup lebih lama.

Sam, kemarin aku menaruh beberapa kata di kertas yang kubeli seharga 2 ribu rupiah. Kalau masih ada, coba kau baca ulang. Kau mungkin akan menemukan jawaban untuk semua yang kau tanyakan selepas berusai. Jangan terburu-buru; jangan juga khawatir tentangku.


“Kala muson sudah ingat arahnya; kemarau panjang pun usai—hujan kembali. Ia akan membawa beberapa kisah kilas balik pada setiap tetesnya. Yang kuat, ya? Jangan sampai mereka melunturkan senyum manis itu” — 27 Februari 2020.

Comments

Popular posts from this blog

Review Film Pendek yang Sedang Ramai, Tilik (2018)

Penutup Sebuah Kisah