Draft akhir tahun untuk Sam

November 2021,

 

‘Halo Sam’ masih menjadi kata pembuka favoritku, kau tahu?

‘Apa kabar?’ juga masih menjadi basa-basi yang tetap awet untukku.

 

Jadi, halo Sam! Apa kabar? Lama tak berjumpa setelah kau memutuskan untuk menyudahi segalanya. Kalau kuhitung, sudah satu… enam… dua belas… ah, mungkin sudah lebih dari setahun mereka tak berjumpa. Bagaimana rupamu di mataku? Bagaimana rupaku di matamu? Sudah asing, bahkan tak lagi saling ingat. Padahal sebelumnya selalu dibawa, tapi entahlah— angin mungkin telah menghilangkannya dengan meniup benih cintamu; yang pernah akan kau berikan padaku. 

 

Sam, kau tahu? Jujur, terkadang aku membenci kita. Aku membenci kita yang pernah bersama. Aku membenci diriku yang terlalu naif, dan pandanganku tentang cinta yang selalu indah. Aku juga membenci kau yang tak pernah memberiku celah untuk masuk, di saat kukira aku adalah duniamu. Tapi terkadang aku pun ragu untuk membenci. Sebab, aku si manusia ‘bahagia’ baru saja kemarin terjun ke dalam reruntuhan duniamu. Belum mengenal dengan baik, tapi bertindak seolah paling tahu segalanya. Maaf, Sam—aku pernah mengecewakanmu.

 

Aku tahu, beberapa bulan belakangan ini rasanya semakin kacau tak keruan. Aku tahu, hatimu belum pulih. Aku tahu, mereka masih saja egois dan berlagak layaknya anak muda. Sama seperti kicaumu di awal Oktober dua tahun lalu, sama seperti tangis daringmu, aku tahu mereka belum bisa membahagiakanmu. Sam, hidup ini berat. Kalau tidak berat, mungkin kau tidak akan mampu melawan daya tarik gravitasi dan menapak di bumi. Sejatinya, memang aku bukanlah kau—aku tidak pernah merasakan kopi tanpa pemanis, aku juga tidak pernah tidur tanpa sedikitpun cahaya. Terkadang aku berpikir, aku terlalu menjatuhkanmu. Aku terlalu banyak memberi terang pada seseorang yang telah lama hidup di gua, sehingga membuatnya buta. Ya, aku terlalu banyak memberi ilusi tentang sebuah kebahagiaan, di saat semesta merampas banyak momen bahagia dari hidupmu. 

 

Maaf menganggu, karena sedari dulu banyak sekali kata yang aku ingin ucap tapi membuat bibirku kaku. Tak banyak yang bisa kulakukan selain membuang kata-kata dengan menjentikan jari-jariku pada kenop hitam ini. Aku tak tahu, entah kau abai atau acuh dengan suratku. Entah kau cakap atau justru menjadi tuli untuk mencerna huruf tak beraturan ini. Tapi Sam, kumohon. Berbahagialah. Sekali saja.

 

Tersenyumlah ketika mereka berlagak layaknya anak muda yang terjebak dalam roman picisan.

Tertawalah, ketika Marcia memasang wajah bodohnya untuk membangkitkan semangatmu.

Tak apa jika kau ingin mengkonsumsi media sosial sebanyak yang kau mau, jika itu bahagiamu, apa hak orang lain?

Lagi-lagi, Sam, aku tahu tak pernah mudah untukmu. Tapi sekali saja, lakukan semuanya dengan putih tanpa pena hitam di atasnya. Tanpa pura-pura, hanya kejujuran.

 

Tak perlu menyesali segala hal yang telah terjadi. Setiap manusia punya hitam, tapi jangan lupa kalau kau juga punya putih. Kumohon, jangan bersedih. Karena rasanya kosong dan dingin—bahkan mampu membangunkanku di tengah malam. Walau tubuh ini sudah lama tak bersentuh, kuyakin rasa kacau yang kurasakan malam itu adalah milikmu.

 

Juga, perpisahan adalah perpisahan. Tak perlu kau ungkit dengan ‘seandainya’ dan ‘jika saja’.

Toh, pada akhirnya aku tetaplah aku yang tertawa dengan lebar. Tak perlu menebus rasa bersalahmu, Sam. Karena aku bukan bagian dari anganmu; aku hanya abu yang pernah kau hirup, dan kau hempaskan. Fokus saja dengan Marcia, si kunang-kunang yang menari indah dalam benakmu. Kuharap ia menjadi kalbu yang hidup dan tak pernah kau lepaskan.

 

Omong-omong, kau tak perlu banyak mencari tahu tentang Kevin. Tak perlu juga merasa asing dan tersingkir olehnya—ia bukan bagian dari kisahku. Aku menulisnya tanpa menonjolkan terangku, itulah yang sesungguhnya. Namun aku tak masalah jika Marcia adalah benar adanya. Kau berhak mendapat secercah hangat di musim penghujan ini. Aku? Aku masih berapi walau tanpa Kevin ataupun kau, jadi tak perlu khawatir.

 

Itu saja.

 

Selamat mencari bahagiamu, Sam.

 

-Miguelle-

Comments

Popular posts from this blog

Review Film Pendek yang Sedang Ramai, Tilik (2018)

Sebuah Kalbu di Antara Klise Abu

Penutup Sebuah Kisah