Posts

kindness.

Ingin mencoba menulis, setelah lama tidak. Sepertinya sudah lama sekali tidak merasakan menjadi seseorang yang bertanggung jawab atas nilai-nilai hasil studinya. Rasanya waktu berjalan dengan cepat. Hidup terkadang lucu, namun kalau tertawa terlalu banyak tidak baik; akan menangis, katanya. Sudah dua tahun saat terakhir kali kehilangan seseorang yang benar-benar kau cintai, masih sangat menyakitkan, terkadang. Saat merasa percaya diri bahwa dia adalah satu-satunya, namun sayang sekali ketika kau bukanlah salah satunya. Katanya, setiap perpisahan harus ada pelajaran yang diambil. Namun kurasa dari hubungan yang kemarin kandas, 'pelajaran-pelajaran' itu seperti menampar keras aku. Padahal, apa yang salah dari mencintai — bahkan jika seseorang itu tidak mencintaimu? Orang bilang, pola pikirku salah. Mereka bilang, sudah seharusnya aku bebenah diri dan lebih memikirkan masa depan dibanding perasaan. Baiklah kalau begitu. Tapi bagaimana jika aku masih melihat dia dalam pandangan mas

Januari, 2022.

Dia indah, walau indahnya tak selalu memenuhi ekspektasi kedua orang tuanya. Menjadi kesayangan adalah mudah bagi pria kelahiran akhir Oktober. Hanya saja memberikan rasa sayang itu tak begitu mudah. Pada akhir Desember, ia masih berkesempatan untuk melihat tertua yang paling dijaga oleh cinta sejatinya. Senyumnya malam itu bercampur aduk dengan ruangan bernuansa kuning daerah Jakarta. Tak banyak hal yang dapat kugambarkan tentang dirinya. Seperti sinar yang kau jumpai di tengah malam; kau tahu itu sinar, namun apalagi yang harus kau jelaskan tentangnya? Malam penuh gundah, hari penuh tanya kulewati karena munculnya rasa manis dalam benakku.  Untuk seseorang dengan pandangan asing, siapakah kau? Apakah kau pemanis atau awalan pahit? Kadang aku juga bertanya, apakah seorang wanita bertubuh jangkung telah diberi rasa sayang—yang kau berikan terbatas pada lainnya? Jujur, aku iri bahwa ia mendapatkannya. Tapi di sisi lain, aku tahu bahwa aku tak cukup jangkung seperti dirinya—baik dari seg

Draft akhir tahun untuk Sam

November 2021,   ‘Halo Sam’ masih menjadi kata pembuka favoritku, kau tahu? ‘Apa kabar?’ juga masih menjadi basa-basi yang tetap awet untukku.   Jadi, halo Sam! Apa kabar? Lama tak berjumpa setelah kau memutuskan untuk menyudahi segalanya. Kalau kuhitung, sudah satu… enam… dua belas… ah, mungkin sudah lebih dari setahun mereka tak berjumpa. Bagaimana rupamu di mataku? Bagaimana rupaku di matamu? Sudah asing, bahkan tak lagi saling ingat. Padahal sebelumnya selalu dibawa, tapi entahlah— angin mungkin telah menghilangkannya dengan meniup benih cintamu; yang pernah akan kau berikan padaku.    Sam, kau tahu? Jujur, terkadang aku membenci kita. Aku membenci kita yang pernah bersama. Aku membenci diriku yang terlalu naif, dan pandanganku tentang cinta yang selalu indah. Aku juga membenci kau yang tak pernah memberiku celah untuk masuk, di saat kukira aku adalah duniamu. Tapi terkadang aku pun ragu untuk membenci. Sebab, aku si manusia ‘bahagia’ baru saja kemarin terjun ke dalam reruntuhan du

Sebuah Kalbu di Antara Klise Abu

Minggu dini hari menyiratkan kepergian sebuah rasa yang tidak pernah asa.  Coba lihat dari lubang kecil di kamarmu. Berapa banyak bintang-bintang bersinar seolah tersenyum? Mereka saling berbincang,  mencari tahu cara tersopan untuk menggapai acuhmu. Lama tak berjumpa, Sam. Ribuan lembar klise hinggap dipikiranku, karena tidak sempat kusampaikan kepadamu. Ada banyak hal terjadi setelah kau memutuskan untuk menyudahi segalanya. Tentang si pria miskin peduli, tapi sangat haus peduli. Tentang pemandangan bianglala indah, sampai akhirnya terlupakan. Entah, aku tak tahu harus mulai dari mana. Tapi yang terjadi begitulah—hancur seperti abu. Sangat halus, yang kemudian menghilang begitu saja setelah angin meniupnya. Jika dunia menolak kebohongan, maka aku akan berkata bahwa aku tidak menyukai kisah diantara kau dan aku. Sendu, seperti melihat dunia dengan warna sephia. Rasanya tidak pantas, mendapatkan cangkir di kala kau sangat haus—cangkir kosong tanpa air di dalamnya. Satu hal yang ingin s

Penutup Sebuah Kisah

Image
Hidup, mengenal, berpisah, menghilang, bertemu, enggan mengenal kembali, selamanya hilang. Kita manusia, kita selalu melakukan hal serupa. Nampak menyambut perpisahan dengan senyuman, namun rapuh. *** Kau meletakkan setumpuk buku psikologi, berharap penatmu hilang. Lalu kau ambil gitar kesayanganmu, sambil melantunkan alunan lagu yang terngiang dibenakmu, namun tak pernah kau ketahui judulnya. Malam itu sangat dingin. Kau hampir beku.  Terlintas beberapa kenangan bahagiamu, berharap mereka kembali suatu saat. Berharap hidupmu kembali seperti sediakala, namun mustahil. Jadi kau mulai menata kehidupan, dan menjalankannya tanpa berharap akan bertemu lagi dengannya. Sementara itu, Dia mulai bahagia dengan kehidupan barunya. Dikelilingi teman-teman yang menyayanginya, dan seorang kekasih yang sangat mencintainya. Dia selalu memamerkan senyumnya yang indah. Terlihat bahagia, sangat bahagia. Seperti mengetahui bahwa kebahagiaannya takkan habis. Malam itu, dia juga meletakkan setumpuk buku kom

Review Film Pendek yang Sedang Ramai, Tilik (2018)

Image
     Hai readers ! Belakangan ini kita semua dihebohkan oleh film pendek Tilik. Film pendek yang diproduksi pada tahun 2018 lalu ini tiba-tiba menjadi ramai setelah diupload pada tahun 2020. Sudah nonton filmnya? Kalau belum, aku mau kasih sedikit review atau mungkin sinopsisnya nih! Eitss , yang belum nonton jangan baca. Nanti spoiler hehehe... enggak deng , monggo dibaca😁      Tilik merupakan film pendek berdurasi 30 menit yang diunggah ke Youtube pada 17 Agustus lalu. Film pendek ini ramai di media sosial berkat bakat akting bu Tejo yang berhasil membuat penonton geram akan wataknya. “Tilik” adalah Bahasa jawa yang berarti “menjenguk”. Sesuai judulnya, film ini menceritakan tentang segerombolan ibu-ibu yang hendak menjenguk bu Lurah yang sedang dirawat di rumah sakit.   Ibu-ibu di truk (Yu Ning-tengah, bu Tejo-kanan).      Dengan latar tempat yang sebagian besar di truk, terdapat percakapan antar ibu-ibu, terutama bu Tejo dengan Yu Ning. Bu Tejo asyik membicarakan Dian, yang merup